Jumat, 03 Januari 2020

Penjajahan Jepang di Indonesia

Jepang ingin meluaskan wilayahnya di Asia. Akan tetapi, negara-negara di Asia masih dalam jajahan negara-negara barat yakni Inggris, Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat. Akibatnya terjadi perang antara Jepang dan negara-negara sekutu. Perang ini dinamakan perang Pasifik. Perang ini terjadi pada 1941 - 1945. Jepang menyebutnya Perang Asia Timur Raya. Perang Pasifik meletus setelah Jepang
mengebom pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour.

Serangan ini terjadi pada 8 Desember 1941. Kemudian, negara-negara dalam Blok Sekutu menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan cepat Jepang menyerbu dan menduduki daerah yang dikuasai Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat yakni Indochina, Myanmar, Filipina, dan Malaysia. Kedudukan Belanda di Indonesia juga terancam oleh Jepang. Pada Januari 1942 Jepang berhasil menduduki Balikpapan dan Tarakan (Kalimantan Timur). Kedua daerah ini direbut karena merupakan penghasil minyak bumi.

Sasaran Jepang selanjutnya, yaitu Pulau Jawa. Pada awal Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di Teluk Banten, Eretan, dan Kragan (Jawa Tengah). Kemudian masuk ke pedalaman dan merebut kota-kota di Pulau Jawa. Pasukan Belanda kewalahan menghadapi serbuan pasukan Jepang. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang (Jawa Barat). Penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang dilakukan oleh Letnan Jenderal N. Terpoorten kepada Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia.
Babak baru pun dimulai. Jepang mulai melakukan penjajahan dan pendudukan di Indonesia. Jepang berusaha menarik hati bangsa Indonesia. Untuk mencapai maksudnya itu, Jepang mengumandangkan semboyan Gerakan Tiga A. Yakni Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia. Jepang membebaskan pemimpin-pemimpin yang ditahan pada masa penjajahan Belanda. Di antaranya Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir. Jepang juga memperbolehkan bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh Indonesia. Bahkan, sewaktu Jepang akan datang ke Indonesia diperdengarkan lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman melalui radio. Di samping itu, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda di Indonesia. Kemudian menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah.

Setelah menguasai Indonesia, Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah pertahanan. Wilayah I (Jawa dan Madura), wilayah II (Sumatra dan kepulauan di sekitarnya), dan wilayah III (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara).


Sebab dan Akibat Pengerahan Tenaga Romusha oleh Jepang terhadap Penduduk Indonesia.

Pada mulanya, bangsa Indonesia tertarik dengan propaganda Jepang. Akan tetapi, sikap dan tindakan Jepang tidak berbeda dengan kaum penjajah lainnya. Jepang bertindak kejam, menindas, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Kekejaman penjajahan Jepang, antara lain kerja paksa atau romusha.

a. Sebab-sebab Pengerahan Tenaga Romusha
Pada Perang Dunia II, Jepang berada di bawah pemerintahan militer. Semua kebijakan politik, ekonomi, dan sosial, ditujukan untuk kepentingan perang melawan sekutu. Untuk kepentingan itu Jepang memerlukan banyak sumber daya alam dan tenaga manusia.

Untuk memenuhi tenaga manusia, Jepang menerapkan sistem kerja paksa di negara jajahannya. Orang-orang dipaksa bekerja untuk kepentingan Jepang yang dinamakan romusha. Para romusha dipaksa bekerja berat tanpa menerima upah. Mereka diperlakukan sewenang-wenang. Mereka dipaksa bekerja untuk membangun lapangan terbang, kubu-kubu pertahanan, dan jalan kereta api.

Tenaga romusha kebanyakan diambil dari desa-desa, terutama dari Pulau Jawa. Mereka dipekerjakan ke luar Jawa. Bahkan ada yang dikirim ke luar negeri, seperti Malaysia, Burma (Myanmar), dan Thailand. Diperkirakan lebih dari 230.000 orang Indonesia dipekerjakan sebagai romusha.

b. Akibat Pengerahan Tenaga Romusha
Keadaan para pekerja romusha sangat memprihatinkan. Mereka diperlakukan secara kasar dan kejam. Mereka bekerja siang malam namun kesehatan dan makanannya tidak terjamin. Akibatnya, banyak para romusha yang meninggal karena kelaparan dan penyakit malaria. Pengerahan tenaga romusha menyebabkan penduduk Indonesia berkurang akibat meninggal dunia. Penderitaan itu meninggalkan rasa ketakutan bagi mereka yang pernah mengalaminya.

Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, Jepang  telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga  Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak perlu banyak  pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka  Jepang denga leluasa memanfaatkan tenaga manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban moral.

Pendudukan Jepang di Indonesia membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia. Propaganda dan janji-janji Jepang hanya tipuan belaka. Selama dijajah Jepang, rakyat Indonesia semakin miskin, bodoh, dan menderita.

Perlawanan Terhadap Jepang
Setelah mengetahui maksud Jepang yang sebenarnya, timbullah berbagai bentuk perlawanan di beberapa daerah diantaranya;

a. Perjuangan Melawan Jepang di Aceh
Perlawanan rakyat Aceh terjadi di Cot Plieng. Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Abdul Jalil. Ia adalah seorang guru mengaji. Peristiwa ini berawal dari sikap tentara Jepang yang bertindak sewenang-wenang. Rakyat diperas dan ditindas. Jepang berusaha membujuk Teuku Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Teuku Abdul Jalil menolaknya. Akhirnya, pada 10 November 1942 Jepang menyerang Cot Plieng. Rakyat Aceh pun tidak gentar mengahadapi serangan Jepang. Mereka hanya bersenjatakan pedang, rencong, dan klewang. Meskipun demikian, rakyat Aceh berhasil mengalahkan Jepang. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Jepang. Serangan Jepang yang kedua pun gagal. Tentara Jepang terpaksa kembali ke markasnya di Lhokseumawe.

Dalam serangan ketiga, Jepang berhasil setelah membakar masjid yang biasa dipakai beribadah Teuku Abdul Jalil. Teuku Abdul Jalil berhasil meloloskan diri, namun akhirnya tertembak.

b. Perjuangan Melawan Jepang di Sukamanah (Singaparna)
Perlawanan rakyat pada masa pendudukan Jepang banyak dipimpin para ulama. Perlawanan yang terkenal adalah perlawanan rakyat yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustofa. Ia adalah pemimpin pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna, Jawa Barat. Perlawanan ini bermula dari dari paksaan Jepang melakukan Seikeirei. Yakni penghormatan kepada kaisar Jepang. Penghormatan ini dilakukan dengan cara menghadap ke arah timur laut (Tokyo) dan membungkukkan badan. Cara ini dianggap oleh K.H. Zaenal Mustofa sebagai tindakan musyrik (menyekutukan Tuhan). Tindakan ini melanggar ajaran agama Islam. Oleh karena itu, tindakan itu sehingga harus ditentang.

Akibat penentangan itu, Jepang mengirim pasukan untuk menggempur Sukamanah. Akhirnya meletuslah pertempuran pada 25 Februari 1944 setelah salat Jumat. Pertempuran ini mengakibatkan banyak korban dari kedua belah pihak. K.H. Zaenal Mustofa berhasil ditangkap. Ia ditahan di Tasikmalaya, kemudian dibawa ke Jakarta untuk diadili. Ia dihukum mati dan dimakamkan di Ancol. Pada 10 November 1974 makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.
c. Perlawanan Rakyat Indramayu
Perlawanan terhadap Jepang juga terjadi di Indramayu pada April 1944. Latar belakang perlawanan ini adalah masalah ekonomi. Rakyat menolak menyerahkan sejumlah padi yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang. Penolakan tersebut dianggap sebagai suatu pemberontakan. Oleh karena itu, Jepang mengirim pasukan untuk memaksa rakyat agar tunduk. Kedatangan pasukan Jepang disambut rakyat secara serentak dengan perlawanan. Perlawanan terus dilakukan sementara penolakan penyerahan sejumlah padi belum dapat diatasi. Perlawanan berakhir setelah Jepang mendatangkan tokoh pergerakan yang disegani. Mereka membujuk rakyat agar menaati peraturan untuk kemenangan bersama.

Sementara itu, pada 30 Juli 1944 di Desa Cidempet, Lohbener, dan Sindang (dekat Cirebon) terjadi perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas, H. Kartiwa, dan Kiai Srengseng.

d. Perlawanan Tentara Pembela Tanah Air (Peta)
Jepang bertindak sewenang-wenang terhadap Bangsa Indonesia. Prajurit Peta tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat tersebut. Apalagi banyak romusha (pekerja paksa) yang meninggal selama dipekerjakan. Tentara Peta merasa tergugah untuk membela rakyat. Mereka harus melawan kekejaman pemerintah Jepang. Perlawanan tentara Peta terjadi di beberapa tempat, antara lain di Aceh, Cilacap, dan Blitar.

1) Perlawanan Peta di Aceh
Pada November 1944, di Aceh meletus perlawanan yang dipimpin oleh Teuku Hamid. Ia adalah seorang perwira Giguyun. Dalam pertempuran ini, Jepang menyandera seluruh anggota keluarga pelaku perlawanan. Mereka diancam akan dibunuh. Oleh karena itu, Teuku Hamid terpaksa menyerah. Akan tetapi perlawanan dilanjutkan di daerah yang sama, yaitu di Desa Pandreh, Kabupaten Berenaih. Perlawanan ini dipimpin oleh kepala desa dibantu satu regu Giguyun. Perlawanan ini dapat dipatahkan Jepang. Hampir seluruh rakyat di daerah Pandreh dibunuh. Namun, kekejaman Jepang tidak mematikan semangat rakyat Aceh. Mereka terus berjuang melawan Jepang.

2) Perlawanan Peta di Cilacap
Khusaeri adalah seorang komandan regu Peta. Ia mengadakan perlawanan di Gumilir, Cilacap. Perlawanan ini cukup sengit. Aka tetapi, akhirnya Khusaeri menyerah. Berkat usaha Daidanco (komandan batalion) Sudirman, ia terbebas dari hukuman.

3) Perlawanan Peta di Blitar
Perlawanan pasukan Peta terbesar terhadap Jepang terjadi di Blitar. Pada mulanya, pasukan Peta bertugas mengawasi romusha yang membuat pertahanan di daerah Pantai Blitar Selatan. Mereka melihat sendiri betapa berat pekerjaan romusha dan sengsara hidupnya. Ditambah lagi keadaan masyarakat yang sangat menderita. Mereka harus menyetor hasil bumi secara besarbesaran. Perlakuan kejam ini mendorong prajurit berjuang melawan Jepang. Mereka harus berjuang membela nasib bangsanya.

Pada 14 Februari 1945, berkobarlah perlawanan Peta di Blitar. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Muradi, Suparyono, dan Bundanco (komandan regu) Sunanto, Sudarmo, Halir Mangkudidjaya. Adapula dr. Ismail sebagai sesepuhnya. Setelah membunuh orang-orang Jepang di Blitar, mereka meninggalkan Blitar. Sebagian menuju lereng Gunung Kelud. Sebagian lagi ke Blitar Selatan. Sayang, perlawanan mereka mengalami kegagalan. Hal ini karena persiapan merela belum matang. Selain itu, tidak adanya kerja sama dengan daidan-daidan di daerah lain. Rakyat juga tidak siap mendukung mereka.

Anggota Peta yang melawan Jepang akhirnya dapat ditangkap. Pemimpin-pemimpinnya diajukan ke depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Mereka diadili pada 16 April 1945. Mereka mendapat hukuman. Ada yang dihukum mati, dipenjara seumur hidup, dan dipenjara satu tahun. Hukuman mati diberikan kepada mereka yang dianggap pemimpin dan terbukti membunuh orang Jepang. Perlawanan Peta telah gagal. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap semangat dan perjuangan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia terus berjuang meraih kemerdekaan.